FEB
04

Urgensi Menghapus Habitual Distrust pada Industri Asuransi

Selasa, 04 Februari 2020     Dilihat: 6608

 

 

 

Abdul Mongid

Guru Besar STIE Perbanas Surabaya

 

Kegagalan beruntun beberapa perusahaan asuransi telah menimbulkan waswas publik atas keandalan  industri asuransi di Indonesia. Kasus gagal bayar Asuransi Jiwa Bersama Bumiputra (AJB Bumiputra 1912), Bakrie Life, PT Asuransi Jiwasraya (Persero) telah menimbulkan trauma para pemegang polis.

Apalagi ditambah dengan isu kegagalan PT Asabri (Persero) menambah trauma publik terhadap perusahaan asuransi, terutama terkait dengan aspek kecukupan atas perlindungan konsumen asuransi.

Yang paling dramatis di masyarakat sebenarnya adalah kasus AJB Bumiputra 1912 karena ini satu-satunya perusahaan asuransi mutual plan, yaitu perusahaan yang dimiliki oleh anggota dan sudah berdiri sejak Indonesia belum merdeka. Namanya juga sangat mewakili pribumi. Basis nasabah juga sangat Indonesia, yaitu dari perdesaan dan perkotaan. Yang fantastis adalah perkiraan jumlah pemegang polis mencapai hampir 7 juta nasabah.

Saat ini jutaan nasabah sedang menunggu dengan cemas pencairan klaimnya yang telah jatuh tempo. Demikian juga dengan Jiwasraya yang menghadapi masalah solvabilitas karena jumlah kewajiban melebihi asetnya sehingga secara teknik sudah bangkrut. Kegagalan beruntun perusahaan asuransi tentu sangat memprihatinkan dan perlu dicari penyelesaian yang elegan. Paling tidak ada tiga aspek yang perlu dipenuhi dalam penyelesaiannya.

Pertama, dalam konteks nasabah pemegang polis, mereka tidak boleh dirugikan. Artinya, pembayaran klaim wajib diberikan paling sedikit sejumlah polis yang telah dibayarkan.

Kedua, keadilan, yaitu mereka yang menjadi pengelola harus diinvestigasi apakah kesalahan manajemen investasi murni karena kondisi ekonomi atau karena korupsi. Kasus direksi Jamsostek yang menerima kick back atas investasi membuktikan banyak direksi asuransi nakal dalam memegang amanah ini.

Ketiga, pemegang saham atau pemerintah harus bertanggung jawab karena direksi dipilih oleh mereka. Tentu ini tidak berlaku untuk AJB Bumiputra, namun tetap saja mereka yang menjadi anggota Badan Perwakilan Anggota (BPA) dimintai pertanggungjawaban. Apalagi mayoritas anggota BPA adalah pejabat pemerintah juga.

Saat ini kita tidak perlu berdebat panjang lebar. Kita perlu meniru bagaimana Tiongkok bisa membuat rumah sakit Virus Korona dengan 1.000 tempat tidur dari bangunan kosong dalam dua hari kelar.

Sekarang yang diperlukan adalah aksi menyelamatkan industry ini dan menyelamatkan kepercayaan publik pada jasa asuransi. Terlepas pertentangan halal dan haram atas jasa asuransi, produk keuangan ini masih diperlukan dan menjadi salah satu penopang pembangunan ekonomi suatu negara.

Dalam perspektif kepentingan nasional yang lebih besar, pandangan Bank Dunia terkait msasalah ini sangat tepat. Indonesia harus menjaga kredibilitas sistem keuangan dengan mengatasi masalah kelemahan di industri asuransi. Ibarat mendapati anak muda yang kecelakaan motor, dokter tidak boleh mencari kesalahan sebagai pengendara tetapi harus menyelamatkan nyawanya dulu.

Jujur saja asuransi adalah industri yang kompleks, baik dari sisi risiko, penetapan harga jaminan (premi), sampai dengan struktur pasarnya. Berbeda dengan industri perbankan yang sistem dan model bisnisnya relatif baku dan mudah diamati sekaligus diwasi, industri asuransi sebaliknya. Makanya yang sangat penting adalah bagaimana proses pengambilan keputusan strategis atau tata kelola dilakukan. Sayangnya ini adalah area yang kompleks yang bahkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tidak memiliki sarana untuk masuk ke dalam. Hanya hasil atas keputusan itu saja yang bisa diamati dalam bentuk kinerja. Karena itu, ke depan OJK harus mengembangkan mekanisme deteksi dini atas kejanggalan keputusan strategis direksi. Ini penting agar direksi tidak gegabah dalam membuat keputusan strategis yang akan membahayakan perusahaan dan industri secara keseluruhan.

Asymmetric information masih merupakan isu sentral dalam pengawasan lembaga keuangan termasuk asuransi. Kalau direksi punya niat jahat untuk mengelabui kinerja keuangan, perusahaan asuransi adalah tempat paling mudah mengkamuflasekan melalui berbagai praktik akuntansi kreatif. Seperti diketahui kontrak asuransi terutama asuransi jiwa, secara jangka waktu cukup panjang dan tidak ada risiko penarikan dana mendadak seperti di perbankan. Apalagi ada fasilitas reasuransi yang cukup komprehensif. Artinya secara risiko likuiditas relatif mudah diramalkan. Masalah menjadi lain ketika investasi tidak dilakukan secara berhati-hati.

Kegagalan Jiwasraya terutama karena Jiwasraya mengalami gagal bayar kepada nasabah terkait produk investasi Saving Plan. Ini adalah produk asuransi jiwa plus investasi yang dikenal dengan unit link. Produk ini ditawarkan secara masif karena ada kerja sama dengan sejumlah bank sebagai agen penjual.

Ketika produk ini gagal, sedikit banyak juga berimbas pada reputasi bank sebagai agen. Apa yang terjadi sebenarnya adalah underwriting risk, di mana sebenarnya Jiwasraya tidak memiliki keahlian cukup untuk mengelola dana dalam jumlah besar dalam waktu cepat. Apalagi banyak direksi yang berpandangan picik (shortsighted) dengan menginvestasikan dana pada instrument yang risk-return-nya tidak sesuai.

Keadaan diperparah oleh fakta  sebagian modal dalam bentuk aset kantor yang tidak likuid dan tidak produktif yang dibeli dengan harga di atas harga pasar.

Agenda Urgen

Menyikapi kondisi industri asuransi yang sedang banyak masalah ini, OJK sebagai otoritas harus bertindak cepat untuk menata industry ini dengan menyusun Arsitektur Industri Asuransi Indonesia. Ini penting untuk memastikan bagaimana industri ini akan bekerja dan berkontribusi untuk pembangunan nasional sekaligus berkontribusi dalam menjaga stabilitas dan integritas sistem keuangan nasional.

Beberapa anggota Dewan Komisioner OJK dalam proses seleksi di DPR sebenarnya telah menjanjikan ini. Semoga kasus beruntun di perusahaan asuransi ini menjadi pemicu utuk langkah yang lebih konkret untuk merealisasikannya.

OJK jangan panik dengan wacana pengembalian pengawasan lembaga keuangan ke Bank Indonesia (BI). Secara rasional Bank Indonesia (BI) tidak lagi berminat karena pengawasan lembaga keuangan memiliki reputation risk yang sangat tinggi. Berbeda dengan mengatasi inflasi dan nilai tukar yang variabel penentunya sangat banyak, kegagalan pengawasan lembaga keuangan dipandang sebagai kegagalan satu institusi saja, yaitu pengawas.

Publik tidak paham bahwa ada banyak variable yang membuat sebuah lembaga keuangan gagal, termasuk di antara keterkaitan direksi dengan kekuatan politik yang membauat lembaga keuangan dijadikan ”sapi perah” untuk kepentingan tertentu.

Pemerintah secepatnya memberikan talangan kepada Jiwasraya dalam bentuk suntikan likuiditas untuk membayar nasabah. Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) harus cepat bertindak dan tidak baper dengan mengulur-ulur masalah ini. Ini penting untuk menjaga keyakinan publik pada industri asuransi dan industri keuangan secara keseluruhan. Tidak boleh masalah ini dibiarkan berlarut larut karena dampaknya akan buruk. Ini juga penting untuk menunjukkan bahwa pemerintah hadir dalam menjaga stabilitas sistem keuangan.

Ingat, kedalaman sistem keuangan (financial system depeening) kita sangat rendah dibandingkan dengan beberapa negara di kawasan Asean. Kegagalan penyelesaian akan membuat traumatik terhadap industry asuransi.

Pemerintah dan Otoritas punya peran untuk menghapus habitual distrust terhadap industri keuangan dan asuransi khususnya. Saat ini terlalu banyak wacana dan berita yang makin membuat habitual distrust terhadap asuransi di masyarakat tumbuh subur. Habitual distrust adalah situasi yang bekerja dalam alam bawah sadar mayoritas masyarakat untuk tidak mempercayai sesuatu. Pendirian Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) adalah bagian dari upaya mengikis habitual distrust di masyarakat. Membayar atau memberi talangan kewajiban Jiwasraya dan Bumiputra akan membuat perbedaan nyata. Industri asuransi memerlukan penyegaran yang fundamental dalam hal tata kelola (goverannce), aturan investasi dan permodalan. OJK perlu belajar banyak dalam mengatur dan mengawasi sekaligus mengarahkan agar industri ini menjadi aset bagi pembangunan ekonomi nasional.

Saat ini industri asuransi dipandang menjadi beban bagi pembangunan nasional. Investasi berlebihan dana polis untuk investasi berisiko tinggi harus diatur ketat. Hanya perusahaan yang kompeten saja yang boleh mengeluarkan produk asuransi yang kompleks. Ketentuan permodalan asuransi harus dirombak untuk mencakup kewajiban ke depan, bukan hanya posisi saat ini. Artinya, perlu langkah yang komprehensif dan revolusioner demi mambangun industri asuransi nasional yang andal dan berfaedah.

*) STIE Perbanas Surabaya
 

Artikel ini telah tayang di Investor.id dengan judul "Urgensi Menghapus Habitual Distrust pada Industri Asuransi"

Link https://investor.id/opinion/urgensi-menghapus-habitual-distrust-pada-industri-asuransi

Pada Selasa, 4 Februari 2020 


 

 

The Leading Business and Banking School

Kampus Wonorejo : Jl. Wonorejo Utara 16 Rungkut, Surabaya
Kampus Nginden    : Jl. Nginden Semolo 34-36, Surabaya

Telp. (031) 5947151, (031) 5947152, (031) 87863997
Fax. (031)-87862621 WhatsApp (chat) 
085895979800
Email: humas@perbanas.ac.id atau humas@hayamwuruk.ac.id

Ikuti Kami:

Whatsapp
Instagram
Youtube
Facebook
Website
Twitter


Dapatkan Informasi Disini